Jumat, 08 Januari 2010

Ini hanyalah setetes rasa, yang tak mungkin sempat aku sampaikan, kepada dirinya yang tak "mungkin" untukku. Aku hanyalah lumut kecil yang tak terlihat diantara rerumputan-rumputan indah di sekitarnya... Aku bagaikan seonggok sampah yang bahkan tak pantas walau hanya untuk mencintainya... Aku dan Dia begitu berbeda... Jauh berbeda... Maafkan aku telah berani mencintaimu... Maafkan aku selama ini telah diam-diam mengamatimu... Aku tak membutuhkan balasan apapun darimu... Aku hanya ingin menorehkan sedikit rasa cinta ini, agar hatiku tak lelah menanggungnya sendiri... :(



Teruntuk "DIA": "Aku baik, jika kau ada didepanku dan menatapku lembut. Aku akan menunduk, menyimpulkan arti tatapanmu, dan tersenyum. Ku angkat wajahku, melihatmu, dan menyadari betapa menyedihkannya wajahku saat itu. Taukah kau mengapa? Karena mataku tak pernah sanggup membalas tatapanmu..."




Terima kasih telah mengajariku mengerti akan makna cinta yang sebenarnya... Yang mampu aku dapatkan dari semua ini adalah bahwasanya cinta memang tidak harus memiliki... Semoga kamu berbahagia dengan apa yang telah kamu miliki sekarang... Jangan hiraukan kedatanganku yang hanya akan mengganggu kehidupanmu... Aku cukup berbahagia dengan melihatmu saja... :)

Minggu, 03 Januari 2010

KETERLIBATAN JILBAB DALAM DUNIA POLITIK


REVISI ARTIKEL

Untuk memenuhi tugas akhir matakuliah Dasar-dasar Menulis

yang dibina oleh Bapak Imam Suyitno



Tema : Hubungan Agama dan Politik

Judul : Keterlibatan Jilbab dalam Dunia Politik

Kerangka :

1. Respon masyarakat

2. Hakikat jilbab

3. Hubungan jilbab dengan dunia politik

4. Jilbab adalah hak

5. Harapan-harapan

Pengembangan kerangka:

Dalam perhelatan akbar menjelang pilpres 8 Juli yang lalu sempat ramai dibicarakan tentang kaitan agama dengan panggung politik, yakni dipakainya jilbab oleh istri pasangan capres dan cawapres JK-Wiranto, Ibu Mufidah Kalla dan Ibu Rugaya Wiranto. Mengenai masalah ini, muncul berbagai respon dari banyak kalangan masyarakat. Ada yang pro, dan ada pula yang kontra. Pihak yang pro beralasan bahwa sosok yang berjilbab mampu membuat mereka terpesona karena dianggap lebih islami. Namun di sisi lain, pihak yang kontra bersikeras menentang anggapan itu dan menyatakan bahwa jilbab tidak bisa dikait-kaitkan dengan kepentingan politik.

Sebelum kita berbicara lebih jauh tentang hubungan jilbab dengan kepentingan politik, ada baiknya terlebih dahulu kita kaji mengenai hakikat jilbab itu sendiri. Solihin (2009) mendefinisikan jilbab sebagai berikut:

Jilbab memang sebuah simbol, bahwa seseorang yang memakainya adalah perempuan muslim. Jilbab adalah simbol bahwa muslimah yang memakainya itu (seharusnya) berbeda daripada yang tidak memakai. Meskipun jilbab adalah simbol, namun konsekuennya juga harus dipahami. Jilbab adalah tabir bagi muslimah dari berbuat maksiat dan dosa. Jilbab adalah sebuah identitas diri bahwa pemakainya juga harus sesuai dengan apa yang dipakainya. Jilbab adalah satu langkah awal untuk siap menerima aturan-aturan Allah lainnya termasuk dalam hal pergaulan, batasan dengan lawan jenis, serta interaksi lainnya.

Namun, tetap tidak bisa dikatakan jika semua perempuan muslim dapat dicap “muslimah” hanya karena mengenakan busana jilbab. Karena situasi di lapangan saat ini, jilbab banyak digunakan hanya sebagai tren, dan sebagai “kedok” agar si pemakainya terlihat lebih religius dan “baik-baik”.

Mengenai hubungan antara jilbab sebagai simbolisasi politik, rasanya tidak adil jika politik dicampuradukkan dengan agama. Agama terlalu suci untuk dilibatkan dengan politik yang saat ini bisa dikatakan “kotor”. Justru seharusnya agama ditempatkan di posisi yang lebih tinggi dari politik. Entah apa yang akan terjadi di negeri ini, jika masyarakatnya lebih mengutamakan politik untuk memperluas kekuasaan dan kekayaan, sedangkan agamanya sendiri dinomerduakan. Kepincangan iman dan moral tentu akan tumbuh subur di masyarakat. Akhirnya, mereka akan lupa dengan Tuhannya dan benar-benar menjadi orang yang merugi karena mereka tidak sadar bahwa apa yang menjadi ambisi mereka itu sebenarnya adalah fana.

Dipakainya jilbab oleh Ibu Mufidah Kalla dan Ibu Rugaya Wiranto dan tidak dipakainya jilbab oleh Ibu Ani Yudhoyono dan Ibu Boediono adalah hak mereka masing-masing. Mulyandari (2006) mengatakan bahwa “dari sudut pandang hak azasi manusia, maka hak seseorang untuk berjilbab dan hak seseorang untuk tidak berjilbab adalah sama. Keduanya harus tetap dihormati". Lagipula, Ibu Mufidah dan Ibu Rugaya Wiranto mengenakan jilbab sudah jauh-jauh hari sebelum pilpres digaungkan. Tentu beda kalau keduanya memakainya masih baru-baru ini. Jadi, alangkah lebih baiknya jika Ibu Ani Yudhoyono dan Ibu Boediono mengenakan jilbab ketika mereka benar-benar sadar dan ikhlas dari lubuk hatinya yang paling dalam, bukan karena ingin meraih simpati masyarakat dalam memenangkan suami-suami mereka di pilpres.

Simbol-simbol agama sebaiknya dihindari dalam dunia politik. Partai tidak ada kaitannya dengan agama atau keyakinan. Partai tidak ada hubungannya dengan surga ataupun neraka. Yang terpenting adalah kita mendapatkan pemimpin yang benar-benar mampu membawa negara ini ke arah yang lebih baik, lebih maju, dan tetap mempertahankan agamanya, tetapi tidak menonjolkan salah satu agama karena tentu saja dominasi salah satu agama dapat mengakibatkan perpecahan antarumat beragama yang akhirnya bisa memecah belah persatuan dan kesatuan. Kepribadian pemimpin bukan dilihat dari bagaimana istrinya berpakaian, namun bagaimana ia berperilaku dalam bobotnya sebagai orang nomer satu di negeri ini yang mempunyai tanggung jawab besar dalam kelangsungan hidup bangsa dan negara. Semoga pasangan capres dan cawapres terpilih bisa menjalankan semua itu dengan baik.


Daftar Rujukan

Solihin, O. 2009. Jilbab Bukan Sekadar Simbol, (Online), (http://osolihin.wordpress.com, diakses 9 Desember 2009)

Arifin, S. 4 Juli, 2009. Jilbab dan Simbolisasi Politik. Jawa Pos,hlm. 27.

Mulyandari. 2006.Jilbab: Rahasia Politik, Rahasia Teks, & Rahasia Waktu, (Online), (http://tionghoa.net, diakses 9 Desember 2009)